Setelah tertunda berkali-kali, sebuah rencana yang telah
disusun cukup lama akhirnya terlaksana. Memanfaatkan momentum awal tahun yang
biasanya belum terlalu banyak pekerjaan, pendakian Gunung Nokilalaki menjadi
pembuka tahun 2020.
Setelah dua tahun berada di tanah perantaun, akhirnya saya
bersama tiga rekan berhasil mengeksekusi rencana pendakian pertama di tanah
Sulawesi. Memang bukan gunung yang paling tinggi, karena bukan itu yang kami
cari. Pengalaman yang berkesan bersama teman tentu lebih menyenangkan
dibandingkan hasrat memenuhi gengsi untuk sekedar pamer di media sosial.
Singkat cerita, kami berempat memulai perjalanan dari Kota Palu tercinta.
Gunung Nokilalaki kebetulan berada di kabupaten tetangga
Kota Palu, yakni Kabupaten Sigi yang dapat ditempuh dalam waktu dua jam
perjalanan. Menggunakan kendaraan roda empat, sinar surya menjadi teman
perjalanan yang cukup ramah, karena biasanya Kota Palu selalu panas terik tanpa
ampun. Roda berputar menggilas aspal mulus tanpa cacat yang baru saja selesai
dikerjakan oleh pekerja umum. Mungkin mereka selalu lembur setiap malam untuk
menyelesaikan pekerjaan jalan antar kabupaten tersebut.
Hari Sabtu, 4 Januari 2020, sepertinya memang menjadi jodoh
kami untuk melakukan pendakian ini. Cuaca yang cerah, perjalanan yang lancar,
dan belum menemukan kendala berarti sepanjang jalan membuat suasana cukup
ceria. Setelah dua jam menikmati suara musik dari radio, tibalah kami di
basecamp pendakian G. Nokilalaki yang cukup sederhana dan bersahaja. Mari,
bersiap menuju titik 2355 mdpl.
Biasanya, pada hari Sabtu, basecamp pendakian selalu ramai
dengan orang-orang yang ingin mendaki, tapi disini tidak. Jarum jam menunjukkan
pukul 10.00 WITA dan hanya rombongan kami yang sedang bersiap untuk melakukan
pendakian. Padahal, hari Sabtu dan Minggu merupakan saat-saat pendaki menyemut
di jalur pendakian, mungkin itu hanya berlaku di gunung-gunung Pulau Jawa.
Selain itu, di basecamp pendakian yang merangkap warung kelontong ini, tidak
dipungut uang retribusi atau biaya tiket masuk jalur pendakian. Bravo! Kami
suka yang gratis-gratis. Selain gratis, penjaga warungnya juga ramah dan
bersahabat dengan orang-orang.
Setelah merapikan susunan barang bawaan, maka kami siap
untuk pulang kembali ke rumah masing-masing. Eh, bukan, kami siap untuk memulai
langkah pertama menuju ketinggian, hehe. Perjalanan dimulai pada pukul 10.30
WITA dari basecamp pendakian yang terletak persis di tepi jalan raya Palu-Sigi,
pada ketinggian 700 mdpl. Perjalanan diawali dengan trek jalan beton disambung
jalan setapak yang membelah perkebunan coklat milik masyarakat sekitar. Coklat
merupakan salah satu sumber penghasilan masyarakat Kab. Sigi, selain padi,
jagung, kopi dan hasil kebun lainnya.
Berjalan di bawah sang surya memang harus sabar, panasnya
itu lho. Dengan kondisi trek yang masih terbuka, menyebabkan kepala langsung dibelai
oleh pancaran sinar ultraviolet. Cukup ditempuh satu jam saja, pos 1 berhasil
kami sambangi. Pos 1 ini sepertinya favorit para pendaki untuk mendirikan tenda
dan bersantai ria seperti di pantai. Adanya aliran sungai berair jernih dan
banyaknya titik yang nyaman untuk dijadikan perkemahan, membuat pos 1 ini
sangat ideal. Suasana khas hutan, ditambah gemericik air dan nyanyian burung
sungguh membuat malas bergerak.
Pos 1 |
Setelah mengabadikan sekilas momen di pos 1, 11.30 WITA kami
kembali menyusuri rute pendakian. Jalan setapak kini menjadi teduh karena
berada di bawah naungan hutan lebat dan berdampingan dengan aliran sungai
kecil. Medan yang ditempuh masih tergolong santai, cenderung datar, dingin dan
tidak menyulitkan untuk berjalan. Sekitar 1 jam atau 12.30 WITA, perut kami
mulai memanggil untuk diisi, raga kami mulai meminta diistirahatkan, dan
pencarian lokasi makan siang menjadi target kami.
Kami memutuskan untuk berhenti di pinggir aliran sungai
kecil, dengan cukup tempat untuk menggelar peralatan masak sekaligus tempat
beristirahat siang. Langsung saja kami berbagi tugas, Mas Onal memasak lauk,
mas rizki dan saya memasak nasi dan air, sedangkan mas yoga menjadi tukang
cuci merapikan lokasi agar lebih
nyaman. Singkat cerita, santap siang telah kami habiskan, solat dhuhur dan
ashar telah kami dirikan, tas sudah di-packing kembali dan lokasi istirahat
dipastikan tidak ada sampah tertinggal. Tepat pukul 14.00 WITA perjalanan kami
lanjutkan.
Chef Onal in Action |
Kondisi trek menjadi menantang setelah makan siang ini.
Tanjakan panjang telah menanti untuk ditapaki. Untungnya, asupan energi masih
cukup banyak untuk mengangkat lutut dan memaksa paha untuk melangkah. Pelan saja,
tanpa terburu-buru, kami menikmati perjalanan ini dengan sendau gurau. Tanpa
terasa, ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.45, kami telah sampai di
Pos 2. Pos ini sangat ideal untuk mendirikan tenda dan beristirahat malam
karena tempatnya yang luas dan sumber air yang tersedia 24 jam.
Sepetak Pos 2 - Tempat Camping Asik |
Setelah berdiskusi sejenak, kami putuskan hubungan
silaturahmi kami untuk mendirikan tenda di salah satu sudut datar yang
nyaman. Tak lama, dua tenda untuk empat orang telah berdiri gagah tanpa cela.
Senja datang diam-diam, sinar surya meredup, kegelapan perlahan menyelimuti
pandangan. Hanya ada rombongan kami yang bermalam di pos tersebut, karena
ternyata rata-rata pendaki lokal lebih senang berkemah di Pos 1, yasudah tidak
masalah. Peralatan masak kami keluarkan, dan kembali berbagi tugas untuk
persiapan makan malam. Hawa tidak begitu dingin, mungkin rapatnya pepohonan
yang menahannya, entahlah. Pukul 20.00 kami telah beres makan malam dan bersiap
untuk terbang ke alam mimpi.
Malam terasa begitu panjang bagi kami bertiga, iya bertiga,
karena Mas Yoga dengan santainya telah mendengkur dan sedikit-sedikit mengigau.
Mencoba memejamkan mata tapi pikiran masih terjaga, ketika sudah terpejam, eh
tiba-tiba terbangun lagi. Hawa justru terasa hangat, akhirnya saya tidur tanpa
sleeping bag. Sekitar jam 4 pagi, suara alarm mulai bersahutan, dan pukul 5
pagi kami laksanakan solat subuh sekaligus bersiap-siap untuk berjalan menuju
puncak Nokilalaki. Tenda kami masih sendirian, namun sudah ada beberapa
rombongan pendaki dari Pos 1 yang telah berjalan duluan ke puncak.
Seperti sudah diduga sebelumnya, perjalanan menuju Pos 3 dan
Puncak tidak akan mudah. Tanjakan seribu tangga telah menanti untuk dijamah.
Batang dan akar yang melintang siap menjadi penolong di saat tangan butuh
pegangan. Perjalanan menuju Pos 3 kami tempuh dalam waktu 1,5 jam, dari jam
06.30-08.00 WITA. Beristirahat dan mengabadikan momen sejenak di Pos 3, pukul
08.30 kembali kami bersiap berjalan. Meskipun perut sedikit mengomel karena
belum banyak terisi makanan, tapi semangat kami masih mampu meredamnya.
Pos 3 |
Target perjalanan menuju puncak kami perkirakan sekitar 60
menit, dan ternyata sedikit meleset. Perjalanan ke puncak ini cukup berkesan,
karena sepanjang perjalanan kami ditemani lumut-lumut imut yang menempel manja
di setiap permukaan batang dan akar pohon. Suasana tersebut belum pernah saya
temui pada gunung di Jawa (Tengah) khususnya. Meskipun suasananya menyenangkan,
ternyata lambung usus ginjal dan kroninya telah bersekongkol untuk meminta
diisi makanan. Dan mereka telah mengancam untuk menyedot energi tubuh kami,
apabila tuntutannya tidak segera dipenuhi.
Hutan Lumut |
Tentunya, kuasa otak dan motivasi diri menjadi lawan yang
sepadan bagi preman-preman perut tersebut. Pada akhirnya, puncak 2355 MDPL yang
kami idamkan akhirnya berhasil kami capai dengan perut yang cukup keroncongan.
Segera kami buka perbekalan, kami rehatkan sejenak fisik kami dan mencoba
merasai suasana puncak tertutup milik Nokilalaki ini. Puncak Nokilalaki cukup
luas, dan dapat dijadikan tempat untuk berkemah pula. Terlalu lama diam, hawa
dingin mulai merasuk dan menggelitik persendian. Setelah mengabadikan momen,
pukul 10.30 kami berpamitan dengan pendaki lain yang juga telah sampai di
puncak. Bergegas kami turun, karena kami merindukan nasi putih, sayur, kornet,
telur, sosis dan tahu yang harus kami eksekusi sebelum pulang ke Kota Palu.
Apabila mendaki dari Pos 2 ke Puncak membutuhkan waktu
sekitar 3,5 jam, maka durasi untuk menempuh jarak yang sama antara Puncak turun
ke Pos 2 hanya membutuhkan waktu 1,5 jam. Cepat? Wajar, didorong rasa lapar dan
rasa rindu, langkah kaki kami seperti dibawa angin. Sekitar jam 12 siang, kami
telah berada di peraduan kami semalam. Bergegas, masak memasak kami lakukan,
ditemani guyuran hujan yang tiba-tiba datang. Rintikan air hujan yang jatuh di
tenda membuat suasana cukup riuh. Aroma tanah dan hutan yang basah oleh bulir
air hujan, menggelitik syaraf pernafasan kami. Sekitar jam 13.00, masakan siap,
hujan reda, kami makan dengan lahap. Hap hap hap.
Awan mendung masih bergelayut, namun curahan air hujan sudah
berhenti. Bekerja sama untuk membereskan tenda adalah hal berikutnya yang harus
kita selesaikan. Barang-barang dikeluarkan, bersihkan isi tenda, copot setiap
frame dan pasak, lipat tenda sedemikian rupa, packing lagi ke dalam tas dan
voila! Urusan beres, kami kencangkan tali sepatu dan serentak berbalik arah
menuju pos 1. Apabila pendakian dari pos 2 ke pos 1 membutuhkan waktu sekitar 5
jam (dengan istirahat), maka perjalanan turun dapat ditempuh dalam waktu 2 –
2,5 jam. Ketika turun, hujan kembali mengguyur badan kami. Segar dong. Dan
tepat pukul 16.30, kami telah sampai di Pos 1. Alhamdullilah.
Perjalanan dari Pos 1 menuju jalan raya tergolong mudah,
karena hanya melewati perkebunan warga dan tentunya sudah sangat dekat dengan pos
awal yang berbentuk warung-yang-menjual-teh panas-dan-indomie-rebus-pake-irisan-cabe.
Sehingga, meskipun lutut sudah mulai gemetar, langkah panjang dengan kecepatan
maksimal kami melesat. Sekitar pukul 17.30 sampailah kami di pos awal tersebut.
Alhamdullilah.
Ringkasan cerita
- Transportasi dari Kota Palu menuju Pos Pendakian / Warung lebih baik menggunakan kendaraan pribadi, tidak ada kendaraan umum.
- Pos pendakian berada persis di pinggir jalan poros Palu-Napu, sebelah kanan jalan, dapat ditempuh dalam waktu dua jam.
- Durasi pendakian hingga puncak 8-9 jam (sudah termasuk istirahat santai)
- Pos 1, Pos 2 dan Puncak dapat digunakan untuk mendirikan tenda, dimana terdapat sumber air bersih di Pos 1 dan Pos 2.
- Jalur pendakian cukup jelas, cukup menantang, mirip-mirip sindoro via Kledung dan membuat paha bekerja keras.
Komentar
Posting Komentar