Langsung ke konten utama

Pendakian Merbabu, via Thekelan

Selalu ada yang pertama untuk setiap hal. Kalimat yang sering terdengar dan mungkin diamini oleh setiap orang.

Catatan perjalanan kali ini, akan sedikit menggali memori dan kenangan lama pada pendakian pertama saya di gunung berketinggian 3000an mdpl, pada 2011 lalu.

Gunung Merbabu, 3142 mdpl, saat ini menjadi salah satu gunung populer di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Ibarat Mall di kota-kota besar yang selalu disesaki pengunjung setiap akhir pekan, Gunung Merbabu tak mau kalah. Lokasi yang begitu mudah diakses, jalan raya mulus beraspal, koneksi jaringan tiada terputus dan berbagai faktor lain, menjadi alasan utama keramaian tersebut.

Ujian Nasional adalah berkah bagi pihak yang tidak merasakannya. Ketika senior kelas XII memutar otak memikirkan masa depan, saya (saat itu kelas XI) bingung untuk menghabiskan waktu liburan. Mempertimbangkan waktu yang ada, saya dan lima orang rekan yang tergabung dalam organisasi pecinta alam SMA 3 Semarang, memutuskan untuk menjajal Gunung Merbabu via jalur Thekelan. Dusun Thekelan berada di wilayah Kopeng, Kab. Semarang yang dapat diakses melalui Kota Salatiga. Kebetulan, Thekelan tidak jauh dari Gunung Andong yang pada saat itu belum terkenal.

Hari 1

Rencana perjalan kami susun sematang mungkin. Persiapan fisik dan peralatan tentu tidak terlupakan. Setelah menunggu beberapa waktu, hari yang ditentukan akhirnya tiba. Pukul 07.30 Saya dan Widad (kelas XI) berboncengan satu motor dari Ngaliyan ke titik kumpul. SPBU Banyumanik menjadi titik kumpul yang kami sepakati karena lokasi strategis. Akhirnya, pukul 09.00, tiga motor telah berkumpul, perbekalan telah diperiksa ulang dan kami siap berangkat menyusuri rute menuju Thekelan.

Brak !

Belum ada 10 menit, motor yang dikendarai Dhani a.k.a Munde (kelas X) mengalami kecelakaan di depan terminal Banyumanik. Waduh. Beruntungnya, motor tersebut masih bisa berjalan normal meskipun ada bagian yang pecah. Munde, si pengendara, juga masih bisa tertawa. Dan perjalanan kita lanjutkan dengan lebih hati-hati, toh tidak ada yang dikejar juga. Sekitar 30 menit, kami mampir untuk menjemput Dama (kelas X) untuk menggenapkan anggota pendakian kali ini. Di motor lain, duet Irvan (kelas XI) dan Radiq (kelas X) terlihat sudah mengobrol akrab sepanjang jalan.

Mengikuti jalan raya utama menuju arah Salatiga, motor terus dipacu di bawah terik matahari yang terus memancar. Memasuki kawasan Kopeng, hawa dingin mulai terasa dan aroma pupuk menusuk hidung. Di Kopeng, hasil perkebunan dan pertanian menjadi salah satu daya tarik utama bagi para pelintas. Tak lama, kami meninggalkan jalur aspal dan berbelok ke kiri mengikuti plang “Jalur Pendakian Thekelan”. Sekitar 20 menit, atau kira-kira Pukul 11.00 sampailah di Basecamp Pendakian. Tidak ramai dan sederhana, pada hari itu, hanya rombongan kami yang melintas di jalur Thekelan.

Basecamp Thekelan

Dengan dalih menggerakkan ekonomi lokal, enam piring indomie telor + nasi kami pesan. Kami sepakat untuk mengisi perut dan menghimpun tenaga sebelum pendakian. Hari beranjak siang, tenaga telah terkumpul dan niat untuk melangkah telah menggebu. Setelah mendaftar (saya lupa biaya registrasinya) dan memarkirkan motor di dalam basecamp, kami memanjatkan doa agar selamat, sehat dan bahagia hingga nanti kembali pulang.

Basecamp – Pos 1 (Pos Pending)

Tali sepatu terikat kencang (padahal sepatu tanpa tali), peralatan lengkap sudah dimuat dan tas karier mulai beradu dengan punggung. Kaki-kaki kecil melangkah pasti mengikuti jalur yang telah disiapkan. Pada permulaan, kebun warga masih menjadi pemandangan mayoritas hingga memasuki hutan pinus. Kondisi jalur menanjak santai, cocok untuk memanaskan otot-otot kaki. Suasana cukup sunyi, damai dan hangat. Matahari bersinar cerah tanpa halangan.

Sekitar 60 menit, Pos 1 berhasil kami capai. Di pos 1 ini terdapat semacam bangunan permanen yang bisa digunakan untuk bernaung dan masih dikelilingi pohon pinus. Tarik nafas sejenak, sedikit mengobrol sambil menikmati waktu yang masih panjang. Jika tidak salah ingat, terdapat sumber air di dekat pos ini.

Pos Pending – Pereng Putih (70 menit)

Perjalanan ke Pos 2 (Pereng Putih) menyusuri jalan setapak yang belum terlalu terjal, mengikuti pipa air yang dipasang warga. Setelah berjalan santai, akhirnya kami bertemu dengan jalan menanjak yang lebih menantang dibanding jalan setapak sebelumnya. Meskipun masih muda, napas sudah cukup terengah mengimbangi rute tanah di depan mata. Beruntung, rute menuju Pos Pereng Putih tidak berlangsung terlalu lama.

Pos Pereng Putih

Nama Pereng Putih diambil dari deretan tebing batu bercorak putih yang menjadi pemandangan utama di sekitar Pos 2. Di Pos 2 (saat itu) terdapat sebuah bedeng (?) yang dapat dimanfaatkan untuk beristirahat sejenak. Perjalanan mulai memasuki kawasan hutan, meninggalkan deretan pohon pinus di bawah sana. Sedikit kesejukan berjalan di bawah naungan pohon-pohon yang tumbuh subur disini.

Pereng Putih – Gumuk Menthul (60 menit)

Lepas lelah, kami berenam melanjutkan perjalanan menuju Pos 3, yakni Pos Gumuk Menthul. Entah apa artinya kami tidak mengerti. Saat itu, setiap personel membawa dua botol air mineral 1,5 L, untuk persediaan kami selama dua hari semalam. Ditambah dengan berbagai peralatan lain, saya rasa saat itu kami masih cukup kuat membawa beban yang ada. Rute pendakian masih menyusuri rimbun hutan di lereng Merbabu, dengan tanjakan yang santai, masih memberi paru-paru menarik napas dengan normal.


Bersama Mister di Pos 3

Mungkin sekitar satu jam perjalanan, kami tiba di Pos 3, ditandai dengan sebuah pondok beratap seng yang sudah ambruk. Mungkin ada badai kemarin. Beristirahat sejenak, kami kembali menyusuri jalan setapak untuk mengejar matahari yang mulai condong ke barat. Berjalan di tengah kegelapan tentu bukan opsi yang menarik. Apalagi hanya rombongan kami yang sedang melintas di Thekelan saat itu.

Gumuk Menthul – Lempong Sampan (40 menit)

Matahari mulai turun, mungkin sekitar jam 4 sore kami telah sampai di Pos 4, Lempong Sampan. Pos ini cukup datar, bisa dijadikan area bermalam atau beristirahat santai. Area Pos 4 sudah tidak serimbun Pos 2 dan Pos 3, karena beda ketinggian akan beda pula vegetasinya. Sejenak beristirahat, mengisi tenaga dengan cemilan yang dibawa karena perut sudah mulai berteriak. Kedua kaki mulai berkelit ketika diajak berjalan. Tapi tujuan kami untuk bermalam adalah pos pemancar.

Sok Ceria di Pos 4
Kebetulan, saat itu, saya dan dama membawa kamera saku, sehingga tugas mengabadikan momen menjadi tugas kami berdua. Mungkin terlihat sepele, tapi pada akhirnya, setiap gambar yang diambil menjadi sebuah alat untuk memancing kembali kenangan-kenangan yang lalu.

Lempong Sampan – Watu Gubug (40 menit)

Lepas dari Pos Lempong Sampan, perjalanan dipastikan tidak akan mudah. Jalur punggungan sudah menanti, gelap segera menemani. Cuaca yang cukup cerah membuat suhu lumayan dingin. Jaket seadannya menjadi penghangat kami. Pada masa tersebut, perlengkapan pendakian termasuk barang mewah yang hanya ada di angan-angan kami. Toko perlengkapan outdoor masih sangat terbatas, pun harganya tidak cocok di kantong. Tapi tidak masalah, setidaknya kami mengerti apa yang harus dilakukan.

Ternyata jarak ke Pos Watu Gubug tidak terlalu jauh. Pos Watu Gubug ditandai dengan banyaknya batu-batu besar yang berserakan, dengan area yang terbuka. Katanya, pos ini termasuk area dengan aura mistis yang cukup kuat. Mungkin kami merasa takut, tapi selama niatnya baik dan tidak ada maksud jahat, Insyallah tidak masalah. Dan kebetulan kami berenam orang polos semua.

Watu Gubug – Pemancar (1,5 jam )

Jarum jam menunjukkan pukul 19.00, gelap sudah cukup pekat. Beruntung, malam itu sinar bulan sangat terang dan ternyata sedang terjadi fenomena super moon. Kami tidak butuh cahaya senter untuk melangkah, hanya butuh es teh untuk membasahi tenggorokan. Bagi saya, perjalanan ke Pos Pemancar sungguh sangat berat. Kelelahan dan kelaparan menjadi kombinasi yang menakutkan, namun harus dilawan sekuat mungkin. Kondisi jalur yang berdebu membuat tarikan napas menjadi lebih berat.

Perlahan kami berjalan, sejenak kami duduk menikmati bulan yang terlihat sangat dekat. Bayang-bayang diri menjadi rekan tambahan sepanjang jalan. Semakin mendekati pos pemancar, angin bertiup semakin kencang, udara terasa lebih dingin. Tenda dan selimut yang kami bawa sudah memanggil untuk segera digunakan. Pun menu santapan untuk makan malam sudah tidak sabar untuk kami transfer ke lambung.

Malam di Sekitar Tenda

Saat tubuh sudah di ujung kelelahan, tanpa sadar kami sudah sampai di Pos Pemancar. Lelah berganti lega, tanpa membuang waktu kami segera mencari lokasi untuk berkemah. Akhirnya kami memilih sebuah tanah datar di samping pemancar, dengan pemandangan kerlip lampu Kota Salatiga (?). Tenda kami dirikan, kompor menyala, dan semerbak bumbu indomie terhambur di udara. Sederhana saja, yang penting perut kenyang dan badan tidak kedinginan.

Sekitar jam 21.30, kami berenam sudah memposisikan diri di dalam tenda, bersiap menikmati alam mimpi. Tanpa sleeping bag, sarung dan jaket menjadi selimut untuk melewati malam. Tidur berhimpitan untuk saling menghangatkan. Kami bersepakat untuk summit attack sebelum subuh.

Hari 2

Pemancar – Pertigaan (1 jam )


Pos Pemancar, dilihat dari Puncak Syarif

Sekitar jam empat pagi, kami berenam sudah bersiap melangkah kembali. Meskipun banyak pergerakan, tidur semalam cukup ampuh untuk mengisi tenaga kembali. Sebelum berjalan, pemanasan dan berdoa adalah hal wajib untuk dilakukan. Pengecekan peralatan dan logistik yang perlu dibawa juga tidak boleh terlupa. Jangan sampai terjadi hal-hal yang bisa menghambat perjalanan.

Berjalan menembus kabut dan angin dingin, rute pendakian yang cukup terbuka masih dihiasi batu-batu besar. Meskipun masih gelap, kami mengetahui bahwa kami sedang berjalan di punggungan dan harus waspada agar tidak salah jalur. Sesuai dengan peta jalur yang kami dapatkan saat registrasi, tujuan pertama kami adalah Puncak Syarif. Meskipun bukan puncak tertinggi, Puncak Syarif adalah titik terbaik untuk menikmati matahari terbit.

Saat semburat jingga mulai merekah dari arah timur, kami sudah sampai di Pertigaan. Apabila belok kiri maka menuju Puncak Syarif, sedangkan belok kanan untuk langsung menuju Puncak Triangulasi. Sesuai rencana, kami belok kiri terlebih dulu, untuk memburu matahari terbit sekaligus solat subuh (meski terlambat). Dan, sebelum pukul 06.00, kami berenam berhasil mencapai Puncak Syarif, dan hanya kami sendiri disana.


Berburu momen di Puncak Syarif

Cuaca cerah, matahari mulai merekah, dan badan mulai terasa gerah. Sambil bermandikan cahaya matahari, kami berfoto, mengabadikan momen. Sedikit melemaskan kaki dan beristirahat, kami mengobrol tentang masa depan yang entah bagaimana wujudnya. Entah jadi apa atau mau apa. Kami belum memiliki bayangan apapun. Ah, berimajinasi memang menyenangkan.

Puncak Syarif – Kenteng Songo - Triangulasi (1 jam)

Setelah puas menikmati Puncak Syarif, pandangan kami alihkan ke Puncak Triangulasi atau puncak tertinggi Gunung Merbabu. Kembali ke pertigaan, jalur menuju puncak terlihat jelas, hanya tinggal mengikuti. Namun, kami perlu lebih waspada, karena pada beberapa titik terdapat jalur yang sempit dan bersisian dengan jurang. Tangan perlu lebih aktif, ketika menyusuri jalur berbatu yang cukup curam. Tidak lama, kami berhasil mencapai Puncak Kenteng Songo.

Kenteng Songo

Puncak Kenteng Songo adalah puncak sebelum puncak utama. Ditandai dengan beberapa batu, yang diyakini memiliki aura magis bagi orang-orang yang peka. Kembali sejenak beristirahat, Gunung Merapi berdiri gagah diseberang sana. Puncak Triangulasi juga sudah di depan mata, terlihat jelas menunggu dalam diam. Matahari sudah cukup terik, namun suhu sekitar masih sejuk. Sebelum kulit tersengat panas, kami segera berlari menuju puncak utama.

Senang dan puas. Kami berenam berhasil menjejakkan kaki dii puncak tertinggi Merbabu. Cukup banyak pendaki di atas sini, dimana mereka mendaki via jalur Selo. Berfoto dengan latar belakang Gunung Merapi menjadi favorit kami. Meskipun panas, yang penting kami punya stok foto untuk diunggah ke Facebook. Kami berleha-leha di puncak, menikmati matahari pagi dan semilir angin sejuk, sayangnya tidak ada kopi panas yang menemani.


Puncak Triangulasi, latar belakang Gunung Merapi

Seusai mengambil foto bersama, kami berlari kembali ke tenda kuning kesayangan, yang masih menunggu di Pos Pemancar. Memasak dan membereskan peralatan untuk bersiap pulang adalah agenda kami selanjutnya. Sesuai rencana, kami berharap sudah berada di Semarang saat malam tiba.

PULANG

Kembali berlari. Sepanjang perjalanan turun kembali ke basecamp kami tempuh dengan berlari. Kaki yang masih lincah dan gesit cukup membantu hingga tidak ada yang cedera. Mungkin berbahaya, tapi biarlah. Hingga akhirnya, sekitar pukul 16.00, kami telah mendarat di Basecamp Thekelan dan disambut hujan sore yang cukup lebat. Sungguh, momen yang tepat sekali.


Squad lengkap, di depan basecamp

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekrutmen PLN – 3/8 Tes Adaptif PLN (TAP)

Bismillah Menyenangkan ketika sebuah kepastian telah diberikan dari awal, yap, pihak rekrutmen memberitahukan bahwa dalam 3 hari kedepan hasil dari Tes Akding akan diumumkan. Seperti momen sebelumnya, saya memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal ini. Biarlah kabar gembira datang dengan tiba – tiba, ehe. Meskipun harap – harap cemas juga sebenarnya karena soal Tes Akding lebih banyak zonk. Tapi selalu berpikiran optimis dan tawakal merupakan penenang hati yang cukup ampuh. Pengumuman kembali datang tanpa disangka, ehe, dan alhamdulillah !. Masih diberi kesempatan untuk meneruskan langkah, dan kawan – kawan seperjuangan saya juga masih banyak tembus. Sebuah informasi, p eserta yang lolos pada tahap Tes Akding berjumlah 3.614 peserta. Pada tahap TAP ini, peserta yang dapat mengikuti hanya berjumlah 48% dari jumlah awal, yaitu sebanyak 1.735 peserta.  Seperti biasa, bersamana dengan pengumuman hasil tes, ada arahan untuk tes selanjutnya dan lampiran peserta yang lolos. M...

Rekrutmen PLN – 2/8 Tes Akademik dan Bahasa Inggris (Akding)

Bismillah Menunggu memang (sering kali) tidak menyenangkan, apalagi menunggu pengumuman yang akan menentukan nasib kita selanjutnya. Saya memilih untuk tidak terlalu menunggu hasil dari Seleksi Online yang telah saya lakukan tempo hari, dan memang begitu seharusnya. Tak perlu risau dengan sesuatu yang memang diluar jangkauan kita. Cukuplah berdoa dan selalu berpikir positif. Maka ketika kabar gembira itu datang, kita tidak akan terbawa perasaan senang yang berlebihan. Dan jika memang belum lolos, perasaan sedih tidak akan berlarut. Menurut saya sih, ehe. Kabar gembira yang datang tanpa ditunggu – tunggu merupakan kabar gembira yang menyenangkan. Betul saja, di siang hari yang terik, seorang teman cukup berisik ketika memberitahu bahwa dirinya mendapat email dari PLN. Sedikit cemas, saya buka juga inbox email saya, dan benar saja terdapat sebuah email masuk. “Ah, ini dia penentuan langkah selanjutnya” kata hati saya. Kemudian saya klik email cinta dari PLN itu, dan terny...

Rekrutmen PLN – 5/8 Tes Fisik

Menunggu terkadang menyebalkan, tapi darimana kita belajar sabar jika tak pernah merasakan menunggu sesuatu?. Pengumuman tes PLN selanjutnya untuk kali ini terasa lama, atau memang lama sih. Setelah selesai psikotes pada tanggal 3 April, pengumuman dijanjikan sekitar 2 minggu, seingat saya. Namun setelah 2 minggu berlalu, pengumuman yang ditunggu tak kunjung muncul. Sedikit resah, namun berharap besar. Berharap tentu harus, namun harus siap jika terjatuh. Akhirnya yang ditunggu menampakkan diri. Berawal dari pesan singkat kawan saya, bertuliskan “Alhamdullilah”, saya terkejut dan dengan tangan gemetar (apasih lebay) saya segera membuka website rekrutmen. Dan ternyata benar, saya masih lanjut, masih diberi keberuntungan. Alhamdullilah. Psikotes telah berlalu, maka saya harus bersiap untuk ujian selanjutnya. Proses seleksi berikutnya yakni tes fisik, iya, tes fisik. Kami harus melakukan lari 12 km, push up 100 kali, sit up 100 kali, pull up 20 kali, berenang 200 meter, tapi itu hany...