Melarikan diri ke gunung untuk mencari ketenangan ataupun
sebatas untuk menyegarkan pikiran merupakan sebuah pilihan yang sehat. Sehat
karena membuat badan berolahraga, sehat karena pemandangan hijau nan permai membuat
hati dan pikiran menjadi tenang dan sehat karena meminimalkan diri dari
perbuatan maksiat, hehe.
Singkat cerita, saya dan Ondang (teman sekelas ketika SMA)
merencanakan sebuah ‘’pelarian’ ke Gunung Ungaran, berdua saja. Iya, hanya
berdua, sungguh manis romantis.
Gunung Ungaran yang kebetulan berada di Kabupaten Semarang
merupakan destinasi yang tepat bagi kami, karena letaknya dekat dengan Kota
Semarang. Cukup 1 jam perjalanan dengan roda dua. Rencana perjalanan kami susun
secara singkat saja, karena semakin sedikit rombongan pendakian memang semakin
mudah dalam urusan manajemen perjalanannya. Apalagi kami berdua merupakan
spesies laki-laki penuh gairah, yang tidak neko – neko.
Pos Mawar berada di daerah Bandungan, Kabupaten Semarang, dekat dengan obyek wisata Umbul Sidomukti. Cenderung mudah untuk digapai dengan moda transportasi apapun. Adapun jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai pos ini sebagai berikut
1. Jika menggunakan kendaraan umum dari arah Semarang, dapat menaiki bus sedang jurusan Semarang - Ambarawa dengan mencegat di Sukun, Banyumanik. Atau naik bus tujuan Solo dan berhenti di gerbang awal wisata Bandungan, kemudian naik angkot lokal menuju pasar Jimbaran. Dari Pasar Jimbaran dapat berjalan kaki (sekitar 5 km) atau menggunakan ojek.
2. Jika dari arah Jogja atau Solo, turun di gerbang awal wisata Bandungan dan naik angkot, kemudian turun di Pasar Jimbaran.
Kami adalah orang Semarang yang kebetulan tidak pergi mudik
saat Lebaran, sehingga H+2 lebaran kami putuskan menjadi waktu eksekusi. Kami
berjanji berkumpul di sekolah pukul 10.00, dengan membawa motor masing –
masing. Tepat pukul 10.00 kami sudah siap menyusuri jalanan panas berdebu
dengan masker dan sarung tangan sebagai peralatan perang kami. Singkat cerita,
pukul 11.30 kami telah sampai di Pos Mawar.
Kondisi Pos Mawar sungguh sepi, ya iyalah, orang – orang
masih di rumah makan ketupat opor. Sehingga kami bingung akan memarkirkan motor
dimana karena penjaga pos juga masih mudik. Untungnya, ada seorang Bapak, yang
memiliki rumah di tengah – tengah kebun, menawarkan area kosong di rumahnya
sebagai tempat untuk memarkirkan motor kami. Sebelum kami berjalan, kami
sempatkan untuk mengobrol dengan sang Bapak, hingga sekitar 13.00.
Pos Mawar – Pos 1
Perjalanan dari Pos Mawar diawali dengan deretan pohon
pinus, dengan kondisi jalan berupa tanah coklat yang cukup landai. Setelah
melewati jalan menanjak, sampailah di Pos 1. Jarak yang ditempuh cukup singkat
sekitar 30 menit dengan kecepatan santai – santai lambat. Pos 1 merupakan batas
antara hutan pinus dengan hutan bukan pinus. Karena kami hanya berdua,
kami tidak beristirahat di pos ini dan
langsung melanjutkan perjalanan ke Pos 2.
Hutan Pinus |
Pos 1 – Pos 2
Pepohonan yang masih cukup lebat menyebabkan masih banyak
spesies burung yang menghuni gunung Ungaran. Sehingga sepanjang jalan yang kami
lalui, kicauan burung menjadi senandung yang memanjakan pendengaran kami.
Sebelum mencapai Pos 2, terdapat aliran sungai kecil berair jernih. Air
tersebut aman untuk dikonsums apalagi untuk mecuci muka, pasti segar. Selepas
aliran sungai kecil tersebut, perjalanan cenderung menanjak. Setelah dua kali
tanjakan, sampailah di Pos 2. Jarak tempuh sekitar 30 menit dengan kecepatan
siput berlari.
Pos 2 |
Aliran Sungai yang Melintas |
Pos 2 – Pertigaan Kebun Teh
Melanjutkan perjalanan, selepas pos 2 kondisi trek cenderung
landai. Sekitar 15 menit berjalan, maka kita akan sampai di sebuah rumah yang
biasa digunakan ketika masa panen pohon teh dan kopi telah tiba. Di area ini
juga terdapat sebuah penampungan air yang berbentuk seperti kolam renang. Jika
sudah tiba di area ini, maka suasanan perjalanan akan berganti dengan deretan
pohon teh dan kopi. Kondisi trek berubah menjadi jalan makadam keras yang
tersusun rapi. Pada pertigaan ini, kami berbelok ke arah kiri menuju ke arah
Dusun Promasan. Langsung saja kami berdua berjalan untuk mencari keramaian dan
manusia lain.
Pertigaan Kebun Teh – Dusun Promasan
Menyusuri jalan makadam sebenarnya tidak terlalu
menyenangkan (bagi saya) karena terasa keras, apalagi kawan saya adalah seorang
laki – laki. Ehe. Tapi tak masalah, selama kawan perjalanan dapat menjadi lawan
berbicara yang ‘hidup’. Sepanjang jalan makadam menuju Promasan, kami ditemani
oleh rimbunnya pohon teh dan kopi di kanan kiri kami. Jalan makadam ini cukup
untuk dilalui satu mobil karena memang tujuannya sebagai akses ketika masa
panen tiba. Sekitar 20 menit, kami tiba di pertigaan jalan, jika berbelok ke
kiri maka akan menuju Puncak Ungaran. Karena kami ingin beristirahat sejenak di
Promasan, maka kami mengambil jalan lurus, yang menuju ke bawah.
Istirahat Dulu Tjuy |
Promasan merupakan sebuah dusun yang berada di tengah kebun
teh, dapat dibilang berada di lembah. Dusun ini merupakan pemukiman bagi Bapak
– Ibu pemetik daun teh yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda –
Jepang. Dusun ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap, seperti masjid, MCK,
lapangan, warung makan dan pemakaman. Kami beristirahat di Basecamp Pak Min,
untuk memesan makan siang sekaligus beristirahat sejenak. Waktu menunjukkan
sekitar pukul 14.30 dan kami berencana berangkat ke puncak setelah solat Ashar.
Promasan – Puncak Ungaran
Selepas Ashar, kami kembali menjejakkan kaki di jalan
makadam agar dapat menikmati suasana senja di puncak Ungaran. Berjalan berdua
sungguh romantis dan syahdu, karena benar – benar hanya kami berdua yang
mendaki Ungaran saat itu, sehingga suasana terasa damai. Setelah bertemu
pertigaan, kami berbelok ke kanan menuju Puncak Ungaran. Perjalanan masih
didominasi pohon – pohon teh, sekitar 5 menit berjalan kami berbelok ke kiri.
Belokan ke kiri ini merupakan jalan awal menuju tanjakan – tanjakan mantap yang
siap dipijak. Setelah masuk di jalan ini, perjalanan kami akan menembus hutan
Ungaran yang masih cukup lebat.
Menjelang Jalan yg Sebenarnya |
Trek menuju Puncak inilah ujian sebenarnya bagi para pendaki
yang sedang mengumpulkan pengalaman. Tanjakan demi tanjakan akan menjadi kawan
seperjalanan yang memberikan tantangan. Tak jarang pula, ada pohon tumbang yang
melintang di tengah jalan. Sehingga membutuhkan gaya ekstra untuk melewatinya.
Pijakan kaki menapak di tanah coklat yang lembut namum terkadang licin. Tapi
tak perlu khawatir, karena banyak spot nyaman yang dapat digunakan untuk
menarik nafas sejenak. Tak kurang dari 60 menit (jika berjalan stabil), kami
telah mencapai setengah perjalanan.
Setengah perjalanan ditandai dengan berubahnya suasana
hutan yang mistis menjadi tebing batu dan padang rumput yang terbuka. Iya, jika
telah mencapai sebuah tebing yang terbuka, yang dapat membuat kita melihat
“area terbuka” di Gunung Ungaran, maka kita telah mencapai setengah (bahkan 3/4
) perjalanan. Tebing ini menjadi jalan pembuka untuk suasana pendakian yang
berbeda, yang lebih lapang dan sekali lagi, syahdu. Ehe. Apalagi dengan suasana
senja yang mulai hadir, ditemani angin semilir yang membelai tengkuk ,
dingin.
Situasi Menjelang Puncak |
Tepat setelah tebing pandang ini, kami dihadapkan pada
tanjakan berbatu yang cukup lumayan, kedua tangan harus siap membantu badan untuk
naik. Setelah tanjakan ini, akan dihadapkan pada sejengkal padang rumput dan
beberapa tanjakan tanah sebagai trek akhir menuju puncak. Matahari mulai
tenggelam di ufuk, cahaya mulai pudar di antariksa. Kami mempercepat langkah
sehingga dapat mendirikan tenda sebelum gelap hadir. Tanpa terasa, sedikit di
depan kami, kami melihat sedikit pohon yang bergerombol di tengah bukit kecil.
Gerombolan pohon itulah yang akan menjadi pintu masuk ke Puncak Ungaran.
Gerombolan Pohon di Antara Dua Bukit Kecil |
Sebelum waktu Magrib datang, tenda kami telah berdiri, dan
benar saja, kami hanya berdua di Puncak Ungaran ini. Sembari menunggu malam
datang, kami membuat minuman dan makanan hangat untuk menemani obrolan dua
pemuda tanggung ini. Untung saja cuaca cerah dan tidak terlalu berangin, sebab
tenda kami (ternyata) hanya single layer, tanpa flysheet. Ehe. Mungkin berkah
ramadhan masih bersama kami, karena yang namanya puncak gunung terkadang sulit
untuk diprediksi kondisi cuacanya. Pukul 20.00 kami telah memposisikan diri
untuk merajut cerita di alam mimpi, agar dapat bangun cepat untuk menyambut
fajar.
Tidur berdua di dalam tenda yang kecil ternyata cukup
nyaman, sayangnya tenda yang kami gunakan terlalu pendek, sehingga kaki kami
harus ditekuk sedikit. Langit yang cerah ternyata menemani kami hingga fajar
datang. Pukul 04.30 kami telah keluar dari peraduan, duduk manis berselimutkan
kain sarung, siap menanti fajar. Jauh di ufuk timur, semburat jingga mulai
nampak, kerlip lampu perkotaan mulai padam satu per satu. Di kejauhan nampak
Danau Rawa Pening dengan airnya yang tenang. Angin pagi bertiup cukup lembut,
cukup untuk menyadarkan diri dari rasa kantuk yang tersisa.
Penampakan Tenda |
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, surya pagi mulai
memancarkan sinarnya yang hangat. Ditemani seduhan minuman panas, kami
menikmati saat saat yang damai ini. Ternyata kami tak lagi berdua, semalam ada
serombongan pendaki yang datang dan mendirikan tenda di dekat kami. Tidak lupa
kami mengambil sedikit dokumentasi untuk kenangan di masa depan. Akhirnya,
sekitar pukul 08.00 kami mulai membereskan perkemahan kami untuk segera turun
kembali ke peradaban. Kami turun menggunakan trek yang sama ketika kami mendaki
kemarin, sehingga tidak ada yang bisa diceritakan kembali. Ehe.
Berdua, Sang Fajar Tampak Malu |
Alhamdullilah
Komentar
Posting Komentar